Karanganyar, Investigasi : Candi
Ceto merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa
akhir era Majapahit (abad
ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut dan secara
administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Kompleks candi
digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai
tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan
penganut kepercayaan asli Jawa.
Laporan ilmiah
pertama mengenai Candi Ceto dibuat oleh Van de
Vlies pada tahun 1842. Selain itu, A.J. Bernet Kempers juga
melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan
rekonstruksi dan penemuan objek terpendam dilakukan pertama kali pada tahun
1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie vor Oudheiddienst) Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi
ini diperkirakan berusia tidak jauh berbeda dari candi Sukuh, yang cukup berdekatan lokasinya.
Ketika ditemukan,
keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14 teras/ punden
bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat
ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja.
Strukturnya yang berteras-teras (Punden ber undak) memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur
asli Nusantara dengan Hinduisme.
Dugaan ini
diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada relief-relief
menyerupai wayang kulit. dengan wajah tampak samping tetapi tubuh
cenderung tampak depan. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode
sejarah Hindu-Buddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh.
Pemugaran pada
akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten
pribadi suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah
banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap
dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para pakar arkeologi. mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi
yang mendalam. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original
adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat
pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdopalon, Nayagenggong, Prabu Brawijaya V serta Phallus, dan bangunan kubus pada bagian
puncak punden.
Selanjutnya,
Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani. dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar
candi, menempatkan arca Dewi Saraswati. sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi
daripada bangunan kubus.
Sejak
renovasi, kompleks Candi Ceto terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum
gapura besar berbentuk Candi Bentar pengunjung mendapati dua pasang arca
penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan
halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur
masyarakat Dusun Ceto.
Sebelum memasuki
aras kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi
(tulisan pada batu) dengan aksara Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna
berbunyi pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka
kalanya wiku goh anaut iku 1397. Tulisan ini ditafsirkan sebagai fungsi candi
untuk menyucikan diri (ruwat) dan penyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu
1397 Saka atau
1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan
tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan
simbol phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi
dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.
Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan
simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain,
seperti mimi, katak dan ketam. Simbol-simbol
hewan yang ada, dapat dibaca sebagai surya sengkala berangka
tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern. Dapat ditafsirkan bahwa kompleks candi
ini dibangun bertahap atau melalui beberapa kali renovasi.
Pada aras
selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang
memuat relief cuplikan kisah Sudamala, seperti
yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan
masyarakat Jawa sebagai dasar upacara Ruwatan. Dua aras berikutnya
memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat
ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan
upacara-upacara keagamaan.
Pada aras
ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan
arca Sabdapalon dan
di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang
menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai
abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu BrawijayaV.
Pada aras
kedelapan terdapat arca phallus (kuntobimo) di sisi utara dan arca
Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan
ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi
setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat
pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.
Di bagian
teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu
digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual
peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan candi, dengan menuruni lereng,
ditemukan sebuah kompleks bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek (Candi Kera). (p-76)
Posting Komentar