41 Karyawan Yang Di PHK, Tuntut Pesangon Sesuai Undang-undang Tenaga Kerja
Madiun
Kota, Investigasi :
Pemerintah Jawa Timur telah lakukan
finalisasi rencana peraturan daerah tentang sistem kerja outsorcing. Dalam
peraturan baru mengenai outsorcing, JawaTimur mempertegas status dan pekerjaan
apa saja yang bisa di alih dayakan atau
di outsocingkan.
Sesuai surat edaran Gupernur Jawa Timur,
Soekarwo pada tanggal 25 Mei 2010 kepada Bupati/Wali Kota/Badan/Intansi/Dinas
se Jawa Timur. Dalam surat edaran tersebut berisi tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian pemborongan
kerja atau penyedia jasa pekerja (outsorcing) dalam pelaksanannya harus sesuai
dengan ketentuan undang undang RI. NO.101/Men/VI/2004 tentang tata cara
perjanjian perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh dan keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi NO 22O/Men/X/2004 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerja
kepada perusahaan lain.
Selain itu, dalam surat edaran tersebut
di tegaskan hal hal sebagai berikut:
1.
Pekerjaan
yang dapat di serahkan pihak lain adalah pekerjaan yang bersifat penunjang
bukan pekerjaan utama dan terbatas di mana hanya lima saja yang bisa yaitu , pelayanan kebersihan atau
cleaning servic, penyedia makanan atau catering, tenaga pengamanan security,
serta penyediaan angkutan atau sopir.
2.
Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja (PPJP) harus
berbadan hukun (PT, Kopersasi dan Yayasandan memiliki ijin operasional dari
instansi yang bertanggung jawap di bidang ketenagakerjaan .
3.
Harus
ada perjanjian tertulis dengan penyedia
jasa pekerja /pemborong pekerjaan dan harus
di laporkan pada / intasi yang bertanggungjawap di bidang
ketenagakerjaan menurut jenjang kewenangan
serta dalam perjanjian di maksud perlu memuat ketentuan anatara lain :
a). Perlindungan upah dan kesejahteraan (sekurang kurangnya sama dengan upah Minimum Kab/Kota (UMR) di Jwa Timur yang telah di
tetapkan oleh Gupernur sesuai tahun yang berjalan.
Namun ketentuan dalam surat edaran yang
di sampaikan oleh Gupernur Jawa Timur sebagian di abaikan oleh pihak Primkopkar
“Silva Cendekia” Pusdiklat SDM Perhutani Madiun, PT. Sylva Daya Insani dan PT.
Cahaya Prasitindo yang mana pada tanggal 25 Juli 2016 telah melakukan PHK untuk
Efisiensi sebanyak 41 karyawan dengan hanya memberi pesangon satu kali
gaji sebesar Rp. 1.394.000 ribu.
Dengan adanya kejadian tersebut dari total
105 karyawan dan yang di PHK sebanyak 41 karyawan sepakat menolak untuk menandatangani
surat persetujuan. Aris Diyan Cahyono
bersama ke 41 karyawan yang terkena PHK tersebut akhirnya megadukan permasalahan
ini kepada Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Pasopati Madiun.
Sesuai dengan kesepakatan bersama, LPKSM Pasopati mendampingi 41 karyawan untuk
mengadu ke Disnakertransos Kota Madiun dengan tujuan agar hak-haknya bisa
terpenuhi sesuai undang-undang ketenagakerjaan.
Saat dikonfirmasi, Sudjat Miko, Ketua LPK
SM Pasopati membenarkan adanya pengaduan tersebut. Selanjutnya dengan berbekal
surat kusa dari ke 41 karyawan yang terkena PHK tersebut, LPKSM Pasopati
melakukan pendampingan dan mendatangi Disnakertransos Kota Madiun bersama
beberapa perwakilan dari karyawan yang di PHK pada 25 Juli 2016.
“Kedatangan kami bersama perwakilan dari
pihak yang di PHK di sambut baik oleh Bu Farida, Kasubag Perlindungan namun, dalam
petemuan itu tidak membuahkan hasil karena menurut Bu Farida belum lengkap
dengan alasan perusahaan yang bersangkutan tidak hadir semua yang hadir hanya
dari pihak PT. Cahaya Prasitindo dari Semarang. Sehingga Bu Farida memberikan surat keputusan untuk
klarifikasi ke pada Primkopkar ”Silva Cendikia” dan PT. Sylva Daya Insani,”
ungkap Sudjat Miko.
Lebih lanjut dijelaskan, selain itu dari
hasil klarifikasi yang di berikan pada perwakilan karyawan berupa surat
keputusan dari Primkopkar, yang diterima pada 14/8/2016 setelah di amati, seolah-olah
semua permasalahan yang timbul ini di bebankan pada PT Cahaya Prasitindo.
“Kalau di kembalikan sesuai barang bukti perjanjian kerja dan slip
gaji yang ada di duga sudah tidak benar,
dalam surat keputusan pada no. 2. berbunyi, Primkopkar akhir 2015, karena
adanya regulasi ketenagakerjaan, maka manajemen Pusdikbang secara otomatis
koperasi harus melepas semua tenaga kerjanya untuk di kelola PT. Cahaya
Prsasitindo,” lanjutnya.
Yang mengherankan, dalam surat
perjanjian kerja untuk waktu tertentu tertanggal 2 Januari 2015, yang mengeluarkan adalah PT.
Sylva Daya Insani bukan primkopkar ”Silva Cendikia”.
“Dari semua barang bukti dan keputusan tersebut,
pihak LPKSM Pasopati akan terus mengawal/mendampingi sampai hak-haknya karyawan
bisa terpenuhi sesuai undang-undang, disini ada karyawan yang sudah bekerja sejak
tahun 1997,” tegas Sudjat Miko.
Di sisi lain Sudjat Miko menjelaskan,
pihaknya berusaha melakukan mediasi secara kekeluargaan, namun apabila tidak terselesaikan
maka permasalahan akan dibawa keranah hukum sebagaimana pasal 90 ayat (1) UU KK
mengatur tentang larangan pengusaha untuk membayar upah pekerja di bawah ketentuan upah minimum yang sudah di
tetapkan.
“Apabila pengusaha tidak melaksanakan atau di sebut melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut
akan di kenakan sanksi hukum yaitu berupa sanksi pidana karena melakukan tindak
pidana kejahatan, dimana dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4
tahun dan/atau denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak empat ratus juta rupiah. Belum lagi hak-hak
normatif pekerja lainnya yang harus di penuhi juga oleh pengusaha dengan mekanisme
penyelesaiannya melalui penegak hukum ketenagakerjaan karena ada pengenaan sanksi pidana terhadap
pelanggaran ketentuan tersebut,” pungkasnya. (tim)
Madiun
Kota, Investigasi :
Pemerintah Jawa Timur telah lakukan
finalisasi rencana peraturan daerah tentang sistem kerja outsorcing. Dalam
peraturan baru mengenai outsorcing, JawaTimur mempertegas status dan pekerjaan
apa saja yang bisa di alih dayakan atau
di outsocingkan.
Sesuai surat edaran Gupernur Jawa Timur,
Soekarwo pada tanggal 25 Mei 2010 kepada Bupati/Wali Kota/Badan/Intansi/Dinas
se Jawa Timur. Dalam surat edaran tersebut berisi tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian pemborongan
kerja atau penyedia jasa pekerja (outsorcing) dalam pelaksanannya harus sesuai
dengan ketentuan undang undang RI. NO.101/Men/VI/2004 tentang tata cara
perjanjian perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh dan keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi NO 22O/Men/X/2004 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerja
kepada perusahaan lain.
Selain itu, dalam surat edaran tersebut
di tegaskan hal hal sebagai berikut:
1.
Pekerjaan
yang dapat di serahkan pihak lain adalah pekerjaan yang bersifat penunjang
bukan pekerjaan utama dan terbatas di mana hanya lima saja yang bisa yaitu , pelayanan kebersihan atau
cleaning servic, penyedia makanan atau catering, tenaga pengamanan security,
serta penyediaan angkutan atau sopir.
2.
Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja (PPJP) harus
berbadan hukun (PT, Kopersasi dan Yayasandan memiliki ijin operasional dari
instansi yang bertanggung jawap di bidang ketenagakerjaan .
3.
Harus
ada perjanjian tertulis dengan penyedia
jasa pekerja /pemborong pekerjaan dan harus
di laporkan pada / intasi yang bertanggungjawap di bidang
ketenagakerjaan menurut jenjang kewenangan
serta dalam perjanjian di maksud perlu memuat ketentuan anatara lain :
a). Perlindungan upah dan kesejahteraan (sekurang kurangnya sama dengan upah Minimum Kab/Kota (UMR) di Jwa Timur yang telah di
tetapkan oleh Gupernur sesuai tahun yang berjalan.
Namun ketentuan dalam surat edaran yang
di sampaikan oleh Gupernur Jawa Timur sebagian di abaikan oleh pihak Primkopkar
“Silva Cendekia” Pusdiklat SDM Perhutani Madiun, PT. Sylva Daya Insani dan PT.
Cahaya Prasitindo yang mana pada tanggal 25 Juli 2016 telah melakukan PHK untuk
Efisiensi sebanyak 41 karyawan dengan hanya memberi pesangon satu kali
gaji sebesar Rp. 1.394.000 ribu.
Dengan adanya kejadian tersebut dari total
105 karyawan dan yang di PHK sebanyak 41 karyawan sepakat menolak untuk menandatangani
surat persetujuan. Aris Diyan Cahyono
bersama ke 41 karyawan yang terkena PHK tersebut akhirnya megadukan permasalahan
ini kepada Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Pasopati Madiun.
Sesuai dengan kesepakatan bersama, LPKSM Pasopati mendampingi 41 karyawan untuk
mengadu ke Disnakertransos Kota Madiun dengan tujuan agar hak-haknya bisa
terpenuhi sesuai undang-undang ketenagakerjaan.
Saat dikonfirmasi, Sudjat Miko, Ketua LPK
SM Pasopati membenarkan adanya pengaduan tersebut. Selanjutnya dengan berbekal
surat kusa dari ke 41 karyawan yang terkena PHK tersebut, LPKSM Pasopati
melakukan pendampingan dan mendatangi Disnakertransos Kota Madiun bersama
beberapa perwakilan dari karyawan yang di PHK pada 25 Juli 2016.
“Kedatangan kami bersama perwakilan dari
pihak yang di PHK di sambut baik oleh Bu Farida, Kasubag Perlindungan namun, dalam
petemuan itu tidak membuahkan hasil karena menurut Bu Farida belum lengkap
dengan alasan perusahaan yang bersangkutan tidak hadir semua yang hadir hanya
dari pihak PT. Cahaya Prasitindo dari Semarang. Sehingga Bu Farida memberikan surat keputusan untuk
klarifikasi ke pada Primkopkar ”Silva Cendikia” dan PT. Sylva Daya Insani,”
ungkap Sudjat Miko.
Lebih lanjut dijelaskan, selain itu dari
hasil klarifikasi yang di berikan pada perwakilan karyawan berupa surat
keputusan dari Primkopkar, yang diterima pada 14/8/2016 setelah di amati, seolah-olah
semua permasalahan yang timbul ini di bebankan pada PT Cahaya Prasitindo.
“Kalau di kembalikan sesuai barang bukti perjanjian kerja dan slip
gaji yang ada di duga sudah tidak benar,
dalam surat keputusan pada no. 2. berbunyi, Primkopkar akhir 2015, karena
adanya regulasi ketenagakerjaan, maka manajemen Pusdikbang secara otomatis
koperasi harus melepas semua tenaga kerjanya untuk di kelola PT. Cahaya
Prsasitindo,” lanjutnya.
Yang mengherankan, dalam surat
perjanjian kerja untuk waktu tertentu tertanggal 2 Januari 2015, yang mengeluarkan adalah PT.
Sylva Daya Insani bukan primkopkar ”Silva Cendikia”.
“Dari semua barang bukti dan keputusan tersebut,
pihak LPKSM Pasopati akan terus mengawal/mendampingi sampai hak-haknya karyawan
bisa terpenuhi sesuai undang-undang, disini ada karyawan yang sudah bekerja sejak
tahun 1997,” tegas Sudjat Miko.
Di sisi lain Sudjat Miko menjelaskan,
pihaknya berusaha melakukan mediasi secara kekeluargaan, namun apabila tidak terselesaikan
maka permasalahan akan dibawa keranah hukum sebagaimana pasal 90 ayat (1) UU KK
mengatur tentang larangan pengusaha untuk membayar upah pekerja di bawah ketentuan upah minimum yang sudah di
tetapkan.
“Apabila pengusaha tidak melaksanakan atau di sebut melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut
akan di kenakan sanksi hukum yaitu berupa sanksi pidana karena melakukan tindak
pidana kejahatan, dimana dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4
tahun dan/atau denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak empat ratus juta rupiah. Belum lagi hak-hak
normatif pekerja lainnya yang harus di penuhi juga oleh pengusaha dengan mekanisme
penyelesaiannya melalui penegak hukum ketenagakerjaan karena ada pengenaan sanksi pidana terhadap
pelanggaran ketentuan tersebut,” pungkasnya. (tim)