Ngawi, Investigasi : Museum
Trinil, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, Indonesia. Museum Trinil atau
Kepurbakalaan Trinil terletak di Dukuh Pilang, desa Kawu, Kecamatan
Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Berjarak 14 km dari Kota Ngawi ke arah Barat
Daya, pada km 10 jalan Raya Ngawi, Solo. Ada pertigaan belok ke arah Utara.
Sepanjang 3 km perjalanan baru sampai pada museum Trinil. Letaknya sendiri di
pinggiran kali Bengawan Solo, dan layaknya situs-situs kepurbakalaan yang ada
di tanah air memang cenderung di pinggiran sungai. Seperti halnya situs
Sangiran atau situs Sambung Macan Sragen juga di Bantaran Sungai Bengawan Solo.
Di sebelah
Barat Daya di halaman museum terdapat bangunan berupa monumen yang didirikan
oleh Eugene Dubois yang pertama kali menemukan situs ini. Di monumen itu
dituliskan angka tahun pertama kali penemuan fosil manusia purba yang diberi
nama Pithethropus Erectus di samping manusia purba di dalam museum sendiri juga
banyak ditemukan berbagai macam fosil binatang purba, yang paling terkenal
adalah ditemukan gading gajah purba yang sangat besar jika dibandingkan dengan
ukuran gading gajah biasa. Manusia purba ini diperkirakan berada pada zaman
pleistosin tengah atau satu juta tahun yang lalu.
Perlu
diketahui, Trinil adalah situs Paleoantropologi di Indonesia yang
sedikit lebih kecil dari situs Sangiran.
Tempat ini terletak di Desa Kawu Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur kira-kira 13 km sebelum pusat kota
Ngawi dari arah kota Solo Trinil merupakan kawasan di lembah Bengawan Solo yang
menjadi hunian kehidupan purba, tepatnya zaman Pleistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.
Pada tahun 1891, Eugene Dubois,
yang adalah seorang ahli anatomi menemukan bekas manusia purba pertama di
luar Eropa (saat
itu) yaitu spesimen Manusia Jawa Pada 1893 Dubois
menemukan fosil manusia
purba Pithecantrophus erectus serta
berbagai fosil hewan dan tumbuhan purba.
Saat ini di Trinil berdiri
sebuah museum yang
menempati area seluas tiga hektare, dengan koleksi di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus
erectus, fosil tulang rahang bawah macan
purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba, dan
fosil tanduk banteng
purba.
Situs ini dibangun atas prakarsa dari Prof. Teungku Jacob,
ahli Antropologiragawi dari Universitas Gajah Mada
Situs Museum Trinil dalam
penelitian merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba pada zaman
Pleistosen Tengah, kurang lebih 1,5 juta tahun yang lalu yang terdapat di kota
Ngawi. Situs Trinil ini amat penting sebab di situs ini selain ditemukan data
manusia purba juga menyimpan bukti konkrit tentang lingkungannya, baik flora
maupun faunanya.
Museum Trinil terletak di
Jalan Raya Solo – Surabaya, Pedukuhan Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar
Kabupaten Ngawi, kurang lebih 13 kilometer arah barat pusat kota Ngawi, dan
untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan semua jenis kendaraan. Sayang
sekali di jalan arteri yang bisa menjadi petunjuk utama, tidak ada satupun
patokan yang bisa mengarahkan kita ke Museum tersebut. Kalau bertanya sama
seseorang hanya dijawab, “ Pokoknya belok ke gang yang ada gapura hitamnya,”.
Pintu gerbang museum yang
sangat sederhana terlihat setelah masuk ke dalam 1 km dari jalan raya utama,
kemudian kami melapor ke pos penjaga untuk membayar tiket masuk. Memang luar
biasa murah kalau boleh dikatakan, bayangkan untuk melihat peradaban jutaan
tahun yang lalu hanya dikenakan biaya masuk seribu rupiah per orang. Ketika
masuk ke lokasi parkir, kesan pertama yang timbul adalah bahwa museum ini
kurang optimal perawatannya, terutama dalam hal fasilitas dan kebersihan.
Masuk ke dalam museum akan mendapati ruangan yang dipenuhi dengan tulang-tulang manusia purba.
Diantaranya adalah : fosil tengkorak manusia purba (Phitecantropus Erectus
Cranium Karang Tengah Ngawi), fosil tengkorak manusia purba (Pithecantropus
Erectus Cranium Trinil Area), fosil tulng rahang bawah macan (Felis Tigris
Mandi Bula Trinil Area), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon
Trigonocephalus Upper Molar Trinil Area), fosil tulang paha manusia purba
(Phitecantropus Erectus Femur Trinil Area), fosil tanduk kerbau (Bubalus
Palaeokerabau Horn Trinil Area), fosil tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus
Horn Trinil Area) dan fosil gading gajah purba (Stegodon Trigonocephalus Ivory
Trinil Area).
Disamping itu masih ada
beberapa fosil tengkorak : Australopithecus Afrinacus Cranium Taung Bostwana
Afrika Selatan, Homo Neanderthalensis Cranium Neander Dusseldorf Jerman dan
Homo Sapiens Cranium. Selain fosil-fosil tengkorak yang tersebut hal yang
menarik lainnya adalah, adanya sebuah tugu tempat penemuan manusia purba. Dulu
tak banyak orang tahu akan makna tugu itu, bahkan kemungkinan besar bisa rusak
kalau tidak dpelihara oleh seorang sukarelawan.
Wirodihardjo atau Wiro
balung alias Sapari dari Kelurahan Kawu adalah seorang sukarelawan yang
menyadari bahwa tugu itu mempunyai makna yang besar dan sangat berguna bagi
penelitian selanjutnya. Wajar ia berpendapat begitu, karena ia telah
menyaksikan ekspedisi atau penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan setelah
penggalian yang dilakukan E.Dubois dan Salenka. Orang asing atau mahasiswa
datang silih berganti untuk melakukan ekspedisi yang tentunya dengan biaya yang
mahal. Oleh karena itu, sebagai putra daerah tersebut, ia merasa ikut
bertanggungjawab atas kelestarian tempat itu.
Kehadiran Wirodiharjo di
Trinil sangat berarti, karena beliau menjadi tempat untuk bertanya para
pengunjung tentang fosil di Trinil. Walaupun tempat tersebut terkenal sebagai
daerah fosil, namun kenyataan waktu itu tidak satupun fosil yang ada di Trinil.
Untuk itulah ia mengumpulkan setiap fosil yang ditemukan di sungai Bengawan
Solo. Selain itu Pak Wiro juga mendapat laporan dari penduduk sekitar bahwa mereka
menemukan fosil. Dari hari ke hari fosil yang dikumpulkan dari tiga desa ;
sebelah barat Desa Kawu, sebelah utara Desa Gemarang dan sebelah timur Desa
Ngancar bertambah banyak, atas tinjauan Kepala Seksi Kebudayaan Depdikbud Ngawi
waktu itu (Pak Mukiyo) ia mendapat bantuan tiga buah almari untuk menyimpan
fosil-fosil tersebut. Sejak saat itulah Pak Wirodiharjo terkenal dengan sebutan
Wiro Balung yang berarti Pak Wiro yang suka mengumpulkan balung-balung
(tulang).
Dan selanjutnya pada tahun
1980/1981 Pemerintah daerah setempat mendirikan museum untuk menampung
fosil-fosil tersebut yang diresmikan oleh Bapak Gubernur Jatim “Soelarso” pada
tanggal 20 Nopember 1991. Namun sayang Wiro Balung sudah tiada sejak 1 April
1990 dan keahlian beliau diteruskan oleh anaknya Mas Sujono ( 37 ) yang
sekarang menjad juru kunci Museum Trinil. Selain dari diorama yang ada, Mas
Sujono juga banyak memberikan keterangan tambahan.
Diantara tambahan
keterangan Mas Sujono yang sangat penting adalah, ”Bahwasannya
Trinil merupakan daerah padang savanna pada masa lampau. Kenapa ? karena adanya
manusia, banteng, gajah dan hewan-hewan yang lain yang tumbuh di satu area. Hal
ini cukup menunjukkan kalau dulu daerah ini adalah savanna. Namun kemudian
setelah adanya letusan Gunung Lawu yang berturut-turut hancurlah peradaban yang
ada di Trinil dan sekitarnya,” kata Mas Sujono dengan mimik serius. Dengan
melihat Museum Trinil suatu kearifan dapat kita tarik dari berbagai temuan para
ilmuwan tentang manusia purba. Adalah suatu kenyataan bahwa dibalik
keanekaragaman wujud kehidupan kita dewasa ini, sesungguhnya ada kesamaan
asal-usul kita seluruhnya sebagai manusia.
Ngawi, Investigasi : Museum
Trinil, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, Indonesia. Museum Trinil atau
Kepurbakalaan Trinil terletak di Dukuh Pilang, desa Kawu, Kecamatan
Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Berjarak 14 km dari Kota Ngawi ke arah Barat
Daya, pada km 10 jalan Raya Ngawi, Solo. Ada pertigaan belok ke arah Utara.
Sepanjang 3 km perjalanan baru sampai pada museum Trinil. Letaknya sendiri di
pinggiran kali Bengawan Solo, dan layaknya situs-situs kepurbakalaan yang ada
di tanah air memang cenderung di pinggiran sungai. Seperti halnya situs
Sangiran atau situs Sambung Macan Sragen juga di Bantaran Sungai Bengawan Solo.
Di sebelah
Barat Daya di halaman museum terdapat bangunan berupa monumen yang didirikan
oleh Eugene Dubois yang pertama kali menemukan situs ini. Di monumen itu
dituliskan angka tahun pertama kali penemuan fosil manusia purba yang diberi
nama Pithethropus Erectus di samping manusia purba di dalam museum sendiri juga
banyak ditemukan berbagai macam fosil binatang purba, yang paling terkenal
adalah ditemukan gading gajah purba yang sangat besar jika dibandingkan dengan
ukuran gading gajah biasa. Manusia purba ini diperkirakan berada pada zaman
pleistosin tengah atau satu juta tahun yang lalu.
Perlu
diketahui, Trinil adalah situs Paleoantropologi di Indonesia yang
sedikit lebih kecil dari situs Sangiran.
Tempat ini terletak di Desa Kawu Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur kira-kira 13 km sebelum pusat kota
Ngawi dari arah kota Solo Trinil merupakan kawasan di lembah Bengawan Solo yang
menjadi hunian kehidupan purba, tepatnya zaman Pleistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.
Pada tahun 1891, Eugene Dubois,
yang adalah seorang ahli anatomi menemukan bekas manusia purba pertama di
luar Eropa (saat
itu) yaitu spesimen Manusia Jawa Pada 1893 Dubois
menemukan fosil manusia
purba Pithecantrophus erectus serta
berbagai fosil hewan dan tumbuhan purba.
Saat ini di Trinil berdiri
sebuah museum yang
menempati area seluas tiga hektare, dengan koleksi di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus
erectus, fosil tulang rahang bawah macan
purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba, dan
fosil tanduk banteng
purba.
Situs ini dibangun atas prakarsa dari Prof. Teungku Jacob,
ahli Antropologiragawi dari Universitas Gajah Mada
Situs Museum Trinil dalam
penelitian merupakan salah satu tempat hunian kehidupan purba pada zaman
Pleistosen Tengah, kurang lebih 1,5 juta tahun yang lalu yang terdapat di kota
Ngawi. Situs Trinil ini amat penting sebab di situs ini selain ditemukan data
manusia purba juga menyimpan bukti konkrit tentang lingkungannya, baik flora
maupun faunanya.
Museum Trinil terletak di
Jalan Raya Solo – Surabaya, Pedukuhan Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar
Kabupaten Ngawi, kurang lebih 13 kilometer arah barat pusat kota Ngawi, dan
untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan semua jenis kendaraan. Sayang
sekali di jalan arteri yang bisa menjadi petunjuk utama, tidak ada satupun
patokan yang bisa mengarahkan kita ke Museum tersebut. Kalau bertanya sama
seseorang hanya dijawab, “ Pokoknya belok ke gang yang ada gapura hitamnya,”.
Pintu gerbang museum yang
sangat sederhana terlihat setelah masuk ke dalam 1 km dari jalan raya utama,
kemudian kami melapor ke pos penjaga untuk membayar tiket masuk. Memang luar
biasa murah kalau boleh dikatakan, bayangkan untuk melihat peradaban jutaan
tahun yang lalu hanya dikenakan biaya masuk seribu rupiah per orang. Ketika
masuk ke lokasi parkir, kesan pertama yang timbul adalah bahwa museum ini
kurang optimal perawatannya, terutama dalam hal fasilitas dan kebersihan.
Masuk ke dalam museum akan mendapati ruangan yang dipenuhi dengan tulang-tulang manusia purba.
Diantaranya adalah : fosil tengkorak manusia purba (Phitecantropus Erectus
Cranium Karang Tengah Ngawi), fosil tengkorak manusia purba (Pithecantropus
Erectus Cranium Trinil Area), fosil tulng rahang bawah macan (Felis Tigris
Mandi Bula Trinil Area), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon
Trigonocephalus Upper Molar Trinil Area), fosil tulang paha manusia purba
(Phitecantropus Erectus Femur Trinil Area), fosil tanduk kerbau (Bubalus
Palaeokerabau Horn Trinil Area), fosil tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus
Horn Trinil Area) dan fosil gading gajah purba (Stegodon Trigonocephalus Ivory
Trinil Area).
Disamping itu masih ada
beberapa fosil tengkorak : Australopithecus Afrinacus Cranium Taung Bostwana
Afrika Selatan, Homo Neanderthalensis Cranium Neander Dusseldorf Jerman dan
Homo Sapiens Cranium. Selain fosil-fosil tengkorak yang tersebut hal yang
menarik lainnya adalah, adanya sebuah tugu tempat penemuan manusia purba. Dulu
tak banyak orang tahu akan makna tugu itu, bahkan kemungkinan besar bisa rusak
kalau tidak dpelihara oleh seorang sukarelawan.
Wirodihardjo atau Wiro
balung alias Sapari dari Kelurahan Kawu adalah seorang sukarelawan yang
menyadari bahwa tugu itu mempunyai makna yang besar dan sangat berguna bagi
penelitian selanjutnya. Wajar ia berpendapat begitu, karena ia telah
menyaksikan ekspedisi atau penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan setelah
penggalian yang dilakukan E.Dubois dan Salenka. Orang asing atau mahasiswa
datang silih berganti untuk melakukan ekspedisi yang tentunya dengan biaya yang
mahal. Oleh karena itu, sebagai putra daerah tersebut, ia merasa ikut
bertanggungjawab atas kelestarian tempat itu.
Kehadiran Wirodiharjo di
Trinil sangat berarti, karena beliau menjadi tempat untuk bertanya para
pengunjung tentang fosil di Trinil. Walaupun tempat tersebut terkenal sebagai
daerah fosil, namun kenyataan waktu itu tidak satupun fosil yang ada di Trinil.
Untuk itulah ia mengumpulkan setiap fosil yang ditemukan di sungai Bengawan
Solo. Selain itu Pak Wiro juga mendapat laporan dari penduduk sekitar bahwa mereka
menemukan fosil. Dari hari ke hari fosil yang dikumpulkan dari tiga desa ;
sebelah barat Desa Kawu, sebelah utara Desa Gemarang dan sebelah timur Desa
Ngancar bertambah banyak, atas tinjauan Kepala Seksi Kebudayaan Depdikbud Ngawi
waktu itu (Pak Mukiyo) ia mendapat bantuan tiga buah almari untuk menyimpan
fosil-fosil tersebut. Sejak saat itulah Pak Wirodiharjo terkenal dengan sebutan
Wiro Balung yang berarti Pak Wiro yang suka mengumpulkan balung-balung
(tulang).
Dan selanjutnya pada tahun
1980/1981 Pemerintah daerah setempat mendirikan museum untuk menampung
fosil-fosil tersebut yang diresmikan oleh Bapak Gubernur Jatim “Soelarso” pada
tanggal 20 Nopember 1991. Namun sayang Wiro Balung sudah tiada sejak 1 April
1990 dan keahlian beliau diteruskan oleh anaknya Mas Sujono ( 37 ) yang
sekarang menjad juru kunci Museum Trinil. Selain dari diorama yang ada, Mas
Sujono juga banyak memberikan keterangan tambahan.
Diantara tambahan
keterangan Mas Sujono yang sangat penting adalah, ”Bahwasannya
Trinil merupakan daerah padang savanna pada masa lampau. Kenapa ? karena adanya
manusia, banteng, gajah dan hewan-hewan yang lain yang tumbuh di satu area. Hal
ini cukup menunjukkan kalau dulu daerah ini adalah savanna. Namun kemudian
setelah adanya letusan Gunung Lawu yang berturut-turut hancurlah peradaban yang
ada di Trinil dan sekitarnya,” kata Mas Sujono dengan mimik serius. Dengan
melihat Museum Trinil suatu kearifan dapat kita tarik dari berbagai temuan para
ilmuwan tentang manusia purba. Adalah suatu kenyataan bahwa dibalik
keanekaragaman wujud kehidupan kita dewasa ini, sesungguhnya ada kesamaan
asal-usul kita seluruhnya sebagai manusia.